DEWI SEKARTAJI dan BALI BARONG
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
SEMAR BADRANAYA dan NATURE
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
PELAYARAN RAKYAT
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
Naga Jawa, Paradigma, Kembang Sejoli, dan Tarian Alam
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
JOYOBOYO dan SINGO BARONG
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
RASTAMAN dan PENJUAL JAMU
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
PENARI BALI dan BALIYEM
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
KESUNYIAN
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
JARAN GIMBAL dan ALETHEIA
Lukisan Kopi Cak Sohell Jl. Tirto Utomo 90b Malang Jawa Timur Indonesia
Selasa, 31 Juli 2012
Tarian Alam
Tarian Alam, lukisan ini merupakan gambaran dari sang pelukis yang menterjemahkan ke dalam bahasa lukisan, dimana alam juga memiliki perasa layaknya manusia, akan tetapi kebanyakan dari kita sangatlah tidak menyadari akan hal itu. pesan dari karya ini,agar kita tak lupa dengan alam semesta yang merupakan bagian terpenting dari kehidupan.
SINGO BARONG
SINGO BARONG, lukisan ini merupakan hasil sebuah kontemporasi dari pelukisnya,sosok ini adalah wujud siluman yang setia mengawal(khodam) raja kadiri dalam memimpin kerajaan, beliau adalah raja Sri Adi Jayabaya.
Sakralisme
SAKRALISME
Siapa yang tidak kenal
dengan keindahan pesona Pulau Bali, Bali yang dianugerahi eksotisme alam
yang mempesona, tradisi budaya yang terus di pertahankan oleh
masyarakat, dan tingkat religiusitas hindu yang begitu kuat, membuat
Pulau ini mempunyai kenangan tersendiri bagi para wisatawan yang pernah
mengunjunginya.
Tradisi dan nilai-nilai sakralisme budaya masih mendapatkan penghormatan
yang tinggi di komunitas masyarakatnya. Salah satunya adalah tradisi
tari barong ngelawang.
Tradisi ngelawang yang diwarisi secara turun temurun itu bermakna untuk
menetralisir alam semesta, menolak segala jenis penyakit yang mengganggu
kehidupan manusia, termasuk secara niskala mengusir orang-orang yang
bermaksud jahat, menggangu keamanan Bali.
Seni ngelawang selain menyuguhkan hiburan, juga diyakini mampu memberi
vibrasi kesucian, sehingga penduduk terhindar dari marabahaya, penyakit
atau hal-hal lain yang tidak diinginkan. Pementasan yang unik dan
menarik itu berlangsung secara sporadis menyimak ruang dan menerobos
waktu, karena pentas itu berpindah-pindah, bahkan masuk gang dan rumah
tangga.
Seni ngelawang juga memiliki makna melanglang lingkungan. Pada awalnya
ngelawang adalah sebuah ritus sakral yang magis yang disangga oleh
psiko-relegi yang kuat.
Dalam perkembangannya masyarakat Bali yang kreatif tidak hanya
ngelawang mengusung benda-benda sakral, namun dibuatkan tiruannya untuk
disajikan sebagai ngelawang tontonan.
Dalam tradisi ngelawang Galungan tersebut, bentuk-bentuk seni
“balih-balihan” seperti arja, janger, atau joged juga dapat disaksikan
masyarakat sebagai hiburan.
Seni ini merupakan kesenian yang biasanya dilaksanakan dengan
berkeliling Rumah-rumah penduduk seperti didatangi sekaa Barong
Kedingkling dan figur-figur topeng yang bersumber dari cerita pewayangan
Ramayana ini disongsong dengan antusias oleh seisi rumah.
Kedatangannya diawali dengan sepotong tembang, misalnya tokoh punakawan
Malen dan Merdah, lalu disusul tokoh Subali dan Sugriwa menari semenit
dua menit di halaman merajan, tempat suci keluarga.
Kendati singkat, umumnya masyarakat senang dan percaya aura ritual-magis
yang dipancarkan ngelawang Galungan itu akan memberikan keselamatan dan
perlindungan.
Hasrat hidup damai dan terlindung dari segala bencana tersebut itulah
kiranya yang menjadi akar ngelawang. Diperkirakan ngelawang berkiblat
dari sebuah mitologi Hindu, Siwa Tatwa.
Alkisah ketika Dewa Siwa dan Dewi Uma bercinta tidak pada tempat dan
waktunya, harmoni terguncang. Akibatnya adalah kesengsaraan bagi umat
manusia dan makhluk hidup yang lainnya.
Sadar akan kekhilapannya itu, Dewa Siwa mengutus para dewa untuk
menenangkan dan menenteramkan kembali seisi alam. Setiba di bumi, para
dewa itu menciptakan dan mementaskan beragam bentuk kesenian. Lewat
kasih pagelaran seni itu seisi jagat kembali damai.
joyoboyo
Jayabhaya dalam Tradisi Jawa
Nama besar Jayabhaya tercatat dalam ingatan masyarakat Jawa, sehingga namanya muncul dalam kesusastraan Jawa zaman Mataram Islam atau sesudahnya sebagai Prabu Jayabaya. Contoh naskah yang menyinggung tentang Jayabaya adalah Babad Tanah Jawi dan Serat Aji Pamasa.Dikisahkan Jayabaya adalah titisan Wisnu. Negaranya bernama Widarba yang beribu kota di Mamenang. Ayahnya bernama Gendrayana, putra Yudayana, putra Parikesit, putra Abimanyu, putra Arjuna dari keluarga Pandawa.
Permaisuri Jayabaya bernama Dewi Sara. Lahir darinya Jayaamijaya, Dewi Pramesti, Dewi Pramuni, dan Dewi Sasanti. Jayaamijaya menurunkan raja-raja tanah Jawa, bahkan sampai Majapahit dan Mataram Islam. Sedangkan Pramesti menikah dengan Astradarma raja Yawastina, melahirkan Anglingdarma raja Malawapati.
Jayabaya turun takhta pada usia tua. Ia dikisahkan moksha di desa Menang, Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri. Tempat petilasannya tersebut dikeramatkan oleh penduduk setempat dan masih ramai dikunjungi sampai sekarang.
Prabu Jayabaya adalah tokoh yang identik dengan ramalan masa depan Nusantara. Terdapat beberapa naskah yang berisi “Ramalan Joyoboyo”, antara lain Serat Jayabaya Musarar, Serat Pranitiwakya, dan lain sebagainya.
Dikisahkan dalam Serat Jayabaya Musarar, pada suatu hari Jayabaya berguru pada seorang ulama bernama Maolana Ngali Samsujen. Dari ulama tersebut, Jayabaya mendapat gambaran tentang keadaan Pulau Jawa sejak zaman diisi oleh Aji Saka sampai datangnya hari Kiamat.
Dari nama guru Jayabaya di atas dapat diketahui kalau naskah serat tersebut ditulis pada zaman berkembangnya Islam di Pulau Jawa. Tidak diketahui dengan pasti siapa penulis ramalan-ramalan Jayabaya. Sudah menjadi kebiasaan masyarakat saat itu untuk mematuhi ucapan tokoh besar. Maka, si penulis naskah pun mengatakan kalau ramalannya adalah ucapan langsung Prabu Jayabaya, seorang raja besar dari Kadiri.
Tokoh pujangga besar yang juga ahli ramalan dari Surakarta bernama Ranggawarsita sering disebut sebagai penulis naskah-naskah Ramalan Jayabaya. Akan tetapi, Ranggawarsita biasa menyisipkan namanya dalam naskah-naskah tulisannya, sedangkan naskah-naskah Ramalan Jayabaya pada umumnya bersifat anonim.
Langganan:
Postingan (Atom)